Pagi itu, ketika sang surya masih enggan menampakkan diri, terdengar riuh suara ayam yang mulai menyambut. Mobil pickup sarat muatan sayur mayur hilir-mudik, diiringi desahan kantuk para tukang ojek yang semalaman berjaga, menjadi pelengkap dari pemandangan akrab sebuah pasar tradisional. Namun, ada pemandangan berbeda pagi itu. Seorang pria yang tadinya tergeletak di sudut pasar, tubuhnya kurus terbungkus pakaian lusuh dan compang-camping, dengan rambut acak-acakan, diusir dengan paksa dari kantuknya karena dianggap mengganggu pemandangan dan aktivitas perekonomian warga.
Pemandangan pilu dan menyayat hati itu bukan berarti tiada yang ingin mengulurkan tangan. Namun, banyak orang merasa bingung dan gundah memikirkan bagaimana uluran tangan mereka dapat membantu pemuda yang diduga mengidap gangguan jiwa tersebut. Mereka takut tidak mampu memahami atau memberikan bantuan yang tepat. Hingga akhirnya, mereka hanya bisa terdiam, menyaksikan pemuda itu terisolasi dalam dunia yang tak mereka mengerti.
Gangguan Jiwa dan Tantanganya
Fenomena gangguan jiwa ini bukanlah masalah sepele yang dapat diabaikan, baik yang ringan maupun yang berat. Dalam sebuah artikel Jurnal Ilmu Kesehatan yang ditulis oleh Fajar Rinawati dan Moh Alimansur (2016), ditemukan bahwa gangguan jiwa setidaknya disebabkan oleh faktor biologis, psikologis, dan sosial. Singkatnya, gangguan jiwa dapat diturunkan secara biologis dari orangtua atau penyakit kronis, psikologis seperti pengalaman tidak menyenangkan atau pola asuh, dan hubungan sosial seperti kehilangan orang yang berarti atau kurangnya sosialisasi dengan orang terdekat.
WHO menyebutkan bahwa setidaknya 25% populasi dunia mengidap masalah kesehatan jiwa. Sedangkan Dr. Celestinus Eigya Munthe, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, mengungkapkan bahwa 20% orang di Indonesia mengalami gangguan jiwa, yang berarti satu dari lima orang di sekitar kita berpotensi menghadapi masalah kesehatan jiwa.
Sayangnya, banyak penderita gangguan jiwa yang tidak menyadari kondisinya. Selain itu, pandangan negatif terhadap ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) masih menjadi masalah serius di masyarakat. Sebuah studi di wilayah kerja Puskesmas Long Mesangat pada tahun 2023 menunjukkan bahwa 61,4% responden memiliki pandangan negatif terhadap ODGJ, sementara hanya 38,6% yang menunjukkan pandangan positif.
Stigma seperti ini menyebabkan banyak penderita enggan mencari bantuan karena takut dihakimi, dijauhi, atau bahkan ditolak. Ini juga berkontribusi pada timbulnya rasa malu dan ketidakpercayaan diri pada individu yang seharusnya mendapatkan dukungan, memaksa mereka terperangkap dalam siklus isolasi dan penolakan yang justru memperburuk kondisi mereka
Meski begitu, setiap penderita gangguan jiwa perlu ditangani dengan serius karena dapat memengaruhi kualitas hidup penderitanya secara signifikan. Tanpa penanganan yang tepat, gangguan jiwa ringan dapat berkembang menjadi lebih parah, memicu masalah fisik, renggangnya hubungan sosial, bahkan berujung pada tindakan pemasungan atau pengabaian dari keluarga yang seharusnya memberikan perlindungan.
Aksi Nyata Sang Filantropis Pemberdaya
Menyikapi tantangan ini, tokoh seperti Dr. Pradipta Suarsyaf, mantan Direktur RS Lancang Kuning di Riau, memainkan peran krusial dalam perawatan dan rehabilitasi Orang Dengan Gangguan Jiwa . Melalui program ODGJ Asuh, beliau fokus pada pendekatan perawatan yang komprehensif, mencakup rehabilitasi medis dan reintegrasi sosial.
ODGJ Asuh menjadi oase di tengah wabah saat ini, di mana teman ODGJ di wilayah Riau bisa mendapatkan akses layanan kesehatan jiwa yang komprehensif dan berpihak pada kaum marjinal
Dr. Pradipta Suarsyaf, pria berdarah campuran Minang-Sunda yang lahir pada tahun 1990, memandang aktivitas filantropis tersebut sebagai pandangan hidup yang diturunkan dalam keluarganya.
Saya dibesarkan dalam keluarga yang harmonis dan bahagia. Papa saya seorang Minang Asli, pemikir Islam, dokter muslim & seorang inspirator dalam hidup saya
Dr. Pradipta Suarsyaf juga membagikan cerita bagaimana ia harus meninggalkan perkuliahannya di ITB setelah satu tahun untuk mengejar mimpi menjadi dokter dan mengabdi kepada masyarakat jauh sebelum menduduki posisi Direktur RS Lancang Kuning.
Perjuangan Dr. Pradipta Suarsyaf dalam membantu teman ODGJ memberikan citra positif bagi RS Lancang Kuning, yang dulunya hanya berupa paviliun di bawah Yayasan Soebrantas, kini menjadi ikon rumah sakit swasta yang memiliki layanan rawat inap kejiwaan di Pekanbaru, selain RS PMC.
Dulu ada 20 tempat tidur di awal, sekarang jadi 50 tempat tidur
Komitmen Dr. Pradipta Suarsyaf dalam membantu teman ODGJ juga diwujudkan melalui kolaborasi dengan berbagai pihak. Salah satunya adalah penandatanganan kesepakatan dengan Dinas Kesehatan Inhil, di mana RS Lancang Kuning di bawah manajemen Dompet Dhuafa kini menerima pasien gangguan jiwa rujukan dari unit puskesmas dengan SKTM dan BPJS, demi tujuan filantropi yang inklusif menjangkau pasien dari status sosial ekonomi kurang beruntung dan dhuafa.
Tidak Hanya Menyembuhkan, Tapi Memberdayakan
Dr. Pradipta Suarsyaf mengusung pendekatan holistik dalam mendukung pemulihan ODGJ di Riau, yang mencakup tidak hanya pemulihan fisik dan mental, tetapi juga membangun kembali kemampuan pasien untuk berinteraksi di masyarakat. Menurutnya, dukungan komprehensif melalui rehabilitasi sosial dapat memberikan pasien kesempatan untuk menjalani hidup dengan lebih bermakna dalam lingkungan yang mereka kenal.
Program pembinaan bagi ODGJ yang telah dinyatakan pulih di RS Lancang Kuning mendapat dukungan dari UPT Centra Abisenka di bawah Kementerian Sosial. Program ini menyediakan pelatihan keterampilan dan rehabilitasi sosial untuk membantu para pasien mengembangkan kemandirian. Namun, tantangan utama dalam proses reintegrasi ini sering kali berasal bukan dari pasien itu sendiri, melainkan dari keluarga dan lingkungan yang mungkin belum siap.
Keinginan para pasien untuk berbaur kembali sering kali terhambat oleh sikap masyarakat yang enggan menerima, yang pada akhirnya menghambat mereka dalam mewujudkan diri dan mencapai kemandirian.
Makanya mereka perlu diberdayakan. Mereka diberi pelatihan dan diharapkan bisa mandiri
Keterangan langsung dari Dr. Pradipta, menekankan pentingnya menciptakan kemandirian dan harapan penerimaan yang lebih luas di tengah masyarakat.
Apresiasi SATU Indonesia Award dan Harapan Keberlanjutan
Melalui program ODGJ Asuh dan dedikasi Dr. Pradipta Suarsyaf, beliau menerima penghargaan SATU Indonesia Awards pada tahun 2020 dan kembali mendapatkan penghargaan yang sama pada tahun 2023 pada tingkat provinsi di bidang kesehatan. Melalui apresiasi yang diberikan dan perhatian yang kemudian muncul melalui pengakuan ini, besar harapanya semakin banyak pihak yang terinspirasi untuk terlibat dalam upaya pemberdayaan ODGJ. Penghargaan ini tidak hanya mengakui kerja keras Dr. Pradipta, tetapi juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara sektor kesehatan, masyarakat, dan perusahaan swasta dalam menciptakan dampak yang lebih besar.
Astra, sebagai salah satu perusahaan yang memberikan apresiasi melalui penghargaan ini, menunjukkan komitmennya dalam mendukung inisiatif sosial yang berkelanjutan. Mereka tidak hanya memberikan bantuan finansial, tetapi juga membuka ruang bagi program-program inovatif yang memiliki dampak langsung pada kualitas hidup masyarakat.
Dengan adanya kerjasama ini, semakin banyak individu dan kelompok yang merasa terdorong untuk bergabung dalam gerakan pemberdayaan ODGJ, mengurangi stigma, dan mendorong inklusivitas yang lebih besar dalam masyarakat.
Semoga dari setiap amanah ini bisa bermanfaat bagi banyak orang dan memberikan manfaat juga bagi saya dalam memperluas silaturahim baik di Indonesia maupun di dunia
Dr. Pradipta Suarsyaf
Referensi:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2021). Kemenkes Beberkan Masalah Permasalahan Kesehatan Jiwa di Indonesia. Diakses dari https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20211007/1338675/kemenkes-beberkan-masalah-permasalahan-kesehatan-jiwa-di-indonesia/
Riau Pos. (2022). Pejuang Bagi Penderita Kejiwaan. Diakses dari https://riaupos.jawapos.com/feature/2253572959/pejuang-bagi-penderita-kejiwaan?page=2
Beritainhil.com. (2023). Terkait Rujukan ODGJ, Dinkes Inhil Jalin Kerjasama dengan RS. Diakses dari https://www.beritainhil.com/2023/04/terkait-rujukan-odgj-dinkes-inhil-jalin.html
Suarsyaf, P. (2009). Pradipta Suarsyaf. Diakses dari https://www.dipsuarsyaf.my.id/2009/03/pradipta-suarsyaf.html
SiberOne. (2023). Kadinkes Inhil Tandatangani MoU dengan RS LK Terkait Penanganan Kasus ODGJ. Diakses dari https://siberone.com/news/detail/26700/kadinkes-inhil-tandatangani-mou-dengan-rs-lk-terkait-penanganan-kasus-odgj
Yulianti, D., & Astuti, W. (2016). Peran Perawat Dalam Penanganan Kasus Gangguan Jiwa Pada Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas. Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ), Universitas Muhammadiyah Semarang. Diakses dari https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKJ/article/view/9265
World Health Organization. (2022). World mental health report: Transforming mental health for all. Diakses dari https://www.who.int/publications/i/item/9789240049338
Haris, Muhammad. (2022). The Relationship between Knowledge and Community Stigma Against ODGJ Patients in the Long Mesengat Community Health Center Working Area. Diakses dari https://pdfs.semanticscholar.org/7c85/065e99eb0257df100f2347a6aa3cb9bddbe1.pdf